BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) mengungkapkan
rata-rata per tahun terdapat 401 bayi baru lahir di Indonesia meninggal dunia
sebelum umurnya genap 1 tahun. Data bersumber dari survey terakhir pemerintah,
yaitu dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (SDKI).
Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan
Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang
kematian terbesar pada tingginya angka kematian balita (AKB). Setiap tahun
sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam rentang
waktu 0-12 hari pasca kelahirannya. Parahnya, dalam rentang 2002-2007 (data
terakhir), angka neonatus tidak pernah mengalami penurunan. Penyebab kematian
terbanyak pada periode ini, menurut Depkes, disebabkan oleh sepsis (infeksi
sistemik), kelainan bawaan, dan infeksi saluran pemapasan atas.
Selaras dengan target pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs), Depkes telah mematok target penurunan AKB di
Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiranhidup menjadi 23 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di indonesia termasuk salah satu
yang paling tinggi di dunia. Hal itu tecermin dari perbandingan dengan jumlah
AKB di negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 10per 1.000
kelahiran hidup dan Singapura dengan 5 per 1.000 kelahiran hidup.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) Badriul Hegar mengatakan banyak faktor yang menyebabkan angka kematian
bayi tinggi. Antara lain, faktor kesehatan anak, lingkungan seperti keadaan
geografis, dan faktor nutrisi.Bisa dicegah Menurut Kirana, peran puskesmas dan
posyandu sejatinya menjadi kunci untuk menekan kejadian AKB.
Antara lain menurunkan angka kematian anak balita
sebesar 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. Pada tahun 2015 diharapkanangka
kematian bayi sebesar 23 bayi per 1.000 kelahiran hidup dan 32 anak balita per
1.000kelahiran hidup
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Badriul Hegar mengatakan, penyebabkematian bayi berusia di bawah satu bulan, adalah
sekitar 29 % disebabkan berat badan rendah, 30 % gangguan pernapasan, dan
sekitar 10 % masalah nutrisi. Dia berpandangan, guna menekan angka kematian
bayi dan anak balita, yang terpenting ialah upaya preventif dan promotif.
Usaha promotif antara lain melalui promosi
penggunaan air susu ibu, nutrisi adekuat, kebersihan diri, dan lingkungan.
Upaya preventif antara lain melalui imunisasi dasar. Selain itu, perlu pula
fasilitas pengobatan tingkat komunitas melalui fasilitas seperti puskesmas.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Sentra Laktasi
Indonesia Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih
panjang daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja
aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif.
Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling
sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan
oleh berbagai kelainan organic, trauma, alargi, insfeksi dan lain-lain.
Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut
juga Hyaline membrane disease merupakan hasil dari ketidak maturan dari
paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30 %
dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau komplikasi yang dihasilkannya
(Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa
sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat
angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode
1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang ini dari pelayanan NICU turun
menjadi 1%. Di Negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang
kejadian RDS.
Sedangkan angka kematian kematian bayi (infant
mortality rate), yakni angka kematian bayi sampai umur satu tahun, di
Negara-negara maju telah turun dengan cepat dan sekarang mencapai angka di
bawah 20 pada 1000 kelahiran. Penurunan angka kematian prenatal berlangsung
lebih lambat, sebabnya ialah karena kesehatan serta keselamatan janin dalam
uterussangat tegantung dari keadaan dan kesempurnaan bekerjanya system dalam
tubuh ibu yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudhigah
menjadi janin cukup bulan.
Di Negara-negara maju kematian prenatal ini mencapai
angka dibawah 25 per 1000 seperti telah dijelaskan, prematuritas memegang peran
penting dalam hal ini. Selanjutny tidak jarang bersama-sama dengan prematuritas
terjadi factor-faktor lain seperti, kelainan congenital, asfiksia neonatorum,
insufisiensi plasenta, pelukaan kelahiran, dan lain-lain. Dua hal yang banyak
menentukan penurunan kematian prenatal ialah tingkat kesehatan serta gizi
wanita dan mutu pelayanan kebidanan yang tinggi di seluruh Negara.
B.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
Umum
Dapat
menerapkan asuhan keperawatan anak yang aman dan efektif pada bayi baru lahir
yang beresiko tinggi (High Risk Newborn).
2. Tujuan
Khusus
a. Mengetahui
kebutuhan dan masalah keperawatan bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
b. Mengetahui
diagnosa keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
c. Mengetahui
cara menyusun rencana keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
RDS
Adalah
gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda
takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap
atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik.
Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi
dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan
kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas
meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan
daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto
thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan
adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai
idiopathic respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis,
radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru
dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan
udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD)
sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang
disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut
untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).
B.
Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan,
karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak
kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan
terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur
dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang
dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera
setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur.
Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru,
sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru
yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit
membran hialin (PMH),
C.
Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada
bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan
berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps
pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan
perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun
25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90%
fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik,
paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang.
Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian
distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus
alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan
ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan
barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline
yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami
sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis
sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
D.
Pencegahan
RDS
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk
mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya
kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan
indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan
kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
a. Mencegah
kelahiran < bulan (premature).
b. Mencegah
tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
c. Management
yang tepat.
d. Pengendalian
kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
e. Optimalisasi
kesehatan ibu hamil.
f. Kortikosteroid
pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
g. Obat-obat
tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus Contoh :
Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml)
Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn
monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan
diturunkan atau obat dihentikan
h. Steroid
(betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg setiap 12 jam
untuk 4 x pemberian)
i.
Cek kematangan
paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio lesitin/spingomielin : > 2
dinyatakan mature lung function)
E.
Manifestasi
Klinis
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS
ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan
dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal
yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir,
yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96
jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada
4 stadium RDS yaitu :pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan
sedikit bronchogram udara, kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua
lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih
luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :
|
0
|
1
|
2
|
|
|
Frekuensi Nafas
|
< 60x/menit
|
60-80 x/menit
|
>80x/menit
|
|
Retraksi
|
Tidak ada retraksi
|
Retraksi ringan
|
Retraksi berat
|
|
Sianosis
|
Tidak sianosis
|
Sianosis hilang dengan O2
|
Sianosis menetap walaupun diberi O2
|
|
Air Entry
|
Udara masuk
|
Penurunan ringan udara masuk
|
|
|
Merintih
|
Tidak merintih
|
Dapat didengar dengan stetoskop
|
Dapat didengar tanpa alat bantu
|
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe
|
Skor < 4
|
gangguan pernafasan ringan
|
|
Skor 4 – 6
|
gangguan pernafasan sedang
|
|
Skor > 7
|
Ancaman gagal nafas
(pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
|
F.
Peran
Bidan Terhadap RDS
Setiap bayi dengan gangguan pernafasan memerlukan
penangan secara umum berupa :
1. Pemberian
oksigen dengan aliran sedang.
2. Bila
frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit, harus diobservasi ketat.
Bila kurang dari 20 kali per menit setiap saat resusitasi bayi dengan
menggunakan balon sungkup (Alat Balon-Sungkup Alat kantong-sungkup terdiri atas
sebuah kantong yang terhubungkan dengan sebuah sungkup).
3. Bila
apnu :
a. Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-gosok
punggung bayi selama 10 detik.
b. Bila
belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan menggunakan balon dan sungkup.
4. Indikasi
penggunaan balon dan sungkup adalah apnu atau megap-megap, frekuensi jantung
kurang dari 100 kali per menit dan sianosis sentral persisten walaupun diberi aliran oksigen bebas 100%. Periksa kadar glukosa darah bila kurang
dari 45 g/dl, segera terapi sebagai hipoglikemi.
5. Bila
didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan minum, BBLR, tada-tanda
kejang, sepsis dan lain-lain, usahakan menentukan penyebab gangguan nafas ini
sambil meneruskan pemberian oksigennya.
G. Klasifikasi
Gangguan Nafas
|
Frekuensi
nafas
(Pernafasan/menit)
|
Merintih saat ekspirasi
Retraksi dinding dada
|
Klasifikasi
|
|
60-90
60-90
>90
>90
|
-
+
-
+
|
Ringan
Sedang
Sedang
Berat
|
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen
lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan
nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
1. Gangguan
nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami
gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut
“Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah
sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan
tanda awal dari infeksi sistemik.
2. Gangguan
nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit
dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit
dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika
(ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
-
Suhu aksiler
<> 39˚C
-
Air ketuban
bercampur mekonium
-
Riwayat infeksi
intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
Bila
suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal
dan nilai ulang setelah 2 jam:
a. Bila
suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan
antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis. Jika suhu normal, teruskan
amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila
tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
b. Apabila
bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam,
terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda
perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI
peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai
salah satu cara pemberian minum
c. Amati
bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali
tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan
bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
3. Gangguan
nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam
selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau
timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani
gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan
ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan
salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara
bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika
frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama
fase akut penyakit RDS adalah:
-
Antibiotika
untuk mencegah infeksi sekunder
-
Furosemid untuk
memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
-
Fenobarbital
-
Vitamin E
menurunkan produksi radikalbebas oksigen
-
Metilksantin (
teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah
satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya
manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk
surfaktan buatan ).
H.
Penunjang
/ Diagnostik
1. Seri
rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan
overdistensi duktus alveolar.
2. Bronchogram
udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
3. Data
laboratorium
4. Profil
paru,
a. untuk
menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin yang
mempunyai predisposisi RDS) Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih
mengindikasikan maturitas paru Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi
35 mingguTingkat phosphatydylinosito
b. Analisa
Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi
oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
c. Level
pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar
yang rusak.
I.
Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk
(2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan
ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan
keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan
suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan
perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah
hipotermia.
6. Mempertahankan
cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan
secara umum :
1. Pasang
jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
a. Pantau
selalu tanda vital
b. Jaga
kepatenan jalan nafas
c. Berikan
Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
2. Jika
bayi mengalami apneu
a. Lakukan
tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
b. Lakukan
penilaian lanjut
3. Bila
terjadi kejang potong kejang
a. Segera
periksa kadar gula darah
b. Pemberian
nutrisi adekuat
J.
Komplikasi
Penyakit
1.
Komplikasi
jangka pendek dapat terjadi :
a. kebocoran
alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan
RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau
bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Jangkitan
penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah
leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
c. Perdarahan
intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS
dengan ventilasi mekanik.
2.
Komplikasi
jangka panjang
Dapat
disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan
penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi
jangka panjang yang sering terjadi :
a. Bronchopulmonary
Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian
oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD
meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
b. Retinopathy
prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan
adanya infeksi.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A.
Pengkajian
1.
Identitas Pasien
Nama : By. AK
Jenis
kelamin : Perempuan
Umur : 6 Hari
Diagnosa
medis : RDS
2. Riwayat
Keperawatan
1) Riwayat
keperawatan sekarang
a. Keluhan
utama :
Sesak
nafas
b. Observasi dan Pengkajian Fisik (HEAD TO TOE)
Keadaan
Umum :
Tanda-tanda
Vital
S : 37oC
N : 86 x/menit
RR : 22 x/menit
B. Analisa
Data
|
Data
|
Problem
|
Etiologi
|
|
S :
O :
a. Bayi Ny.
AK sesak nafas
b. Bayi Ny. AK terlihat kebiruan
c. RR 90 x/menit
d. Nadi : 150
e. Wheezing : -
f. Ronkhi : -
g. Capillary refill : 3 detik
h. Terpasang
oksigen 1 lt/menit
|
Pola nafas tidak efektif
|
Ketidakstabilan alveolar
|
|
S :
O :
a. Suhu : 35,9
‘C
b. Terpasang
OGT
c. Bayi Ny. AK terlihat pucat
d. Berat
badan:1505 gram
|
Hipotermia
|
Berada di lingkungan yang dingin
|
|
S :
O :
a. Terpasang
infus D10%5 tts/mnt umbilikal
b. Hasil
Laboratorium Leucosit : 10.31 /uL
c. Tali pusat masih basah
|
Resiko
infeksi
|
Prosedur
infasif
|
C.
Intervensi
|
No.
|
Diagnosa Keperawatan
|
NOC
|
NIC
|
|
1.
|
Pola nafas tidak efektif b.dKetidakstabilan
alveolar
|
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Status respirasiventilasi menjadi efektif, yang
dibuktikan dengan indikator sbb:
a. Tidak bernafas menggunakan otot pernafasan tambahan
b. Pernafasan 25 - 60 kali permenit
|
1. Monitor respirasi dan status oksigen
2. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan dan ketidak adanya ventilasi
dan bunyi nafas
3. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi dan mengurangi dispnea
4. Kolaborasi
medis untuk pemberian obat pernapasan
|
|
2.
|
Hipotermia b.d Berada di
lingkungan yang dingin
|
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Termoregulasi neonatus stabil,
yang dibuktikan dengan indikator sbb:
a.
Suhu axila
36-37˚ C
b.
Warna
kulit merah muda
|
1. Monitor gejala dari hopotermia: fatigue, lemah, apatis, perubahan warna
kulit
2. Pindahkan bayi dari lingkungan yang dingin ke dalam lingkungan / tempat
yang hangat (didalam inkubator)
3. Segera ganti pakaian bayi yang dingin dan basah dengan pakaian yang
hangat dan kering, berikan selimut.
4. Monitor intake dan output
|
|
3.
|
Resiko
infeksi b.d Prosedur infasif
|
1. Setelah di berikan asuhan keperawatan selama 3×24jam diharapkan tidak terjadiinfeksi yang
dibuktikan dengan indikator sbb :
a. Tidak
terjadi tanda dan gejala infeksi
b. Hasil
laboratorium tidak menunjukan tanda dan gejala infeksi
|
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
2. Gunakan celemek dan sarung tangan sebagai alat
pelindung
3. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan
alat dan tindakan ganti balut
4. Kolaborasi
pemberian terapi medis
5. Kolaborasi
pemeriksaan laboratorium
|
D.
Implementasi
|
No DX
|
Implementasi
|
EvaluasiFormatif
|
Evaluasi hasil
|
Ttd
|
|
1
|
1. Memantau
keadaan umum bayi dan memberikan terapi O2 : 1
lt/menit
2. Melakukan
auskultasi suara nafas, mencatat area penurunanfungsi paru danmencatat bunyi nafas tambahan
3. Memposisikan
tubuh bayi agar maksimal dalam bernafas dan mengurangi sesak nafas.
4. Melakukan terapi injeksi Dexametason 3 x 0,2
cc
|
S:-
O:
-Keadaan umum baik, masih terpasang
oksigen 1lt/menit
S;-
O:
- Kesadaran
composmentis
-RR :
75 x/menit, Capilery refill : 3 menit
S:-
O:-
-Tidakditemukan
wheezing, ronkhi, dan suara tambahan lainnya
S:-
O:
Dexametason
0,2cc masuk
|
S : -
O :-RR:75x/menit
Bayi masih terpasang
oksigen 1 lt/menit
Kesadaran bayicomposmentis
A :
Masalah pola nafas tidak efektif b.dketidakstabilan alveolar belum teratasi
P :
Pertahankan
intervensi no. 1, 2, 3, dan 4
|
|
No DX
|
Implementasi
|
Evaluasi Formatif
|
Evaluasi hasil
|
Ttd
|
|
2
|
1. Memonitor
hipotermi bayi 1 jam sekali seperti : fatigue,
lemah, apatis, perubahan warna kulit dan pemeriksaan suhu
2. Menempatkan
bayi kedalam inkubator
3. Sesegera
mungkin mengganti pakaian bayiyang basah dengan pakaian yang kering dan menyelimutinya.
4. Menghitung
balance cairan bayi
|
S:-
O:
-Suhu:35,9‘C
S:-
O:
-Bayi Ny.
S didalam inkubator
S:
O:
Bayi Ny. S
terlihat nyaman
S:-
O:
Balance
cairan :+68’2cc
Bayi
terpasang sonde
|
S : -
O :
Bayi masihdidalam
inkubator
Bayi masihterpasang
sonde
A :
Masalahhipotermia
b.dberada di lingkungan yang dingin belumteratasi.
P:
Pertahankan
intervensi no. 1, 2, 3, dan 4
|
|
No DX
|
Implementasi
|
EvaluasiFormatif
|
Evaluasi hasil
|
Ttd
|
|
3
|
1. Melakukan cuci tangan sesuai standar IPCN
2. Menggunakan celemek dan sarung tangan steril dalam melakukan asuhan
keperawatan
3. Mempertahankan lingkungan aseptic selama proses
tindakan ganti balut
4. Mengisi blangko pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan injeksiCefotaksim 2x75 mg/ IVdanDexamethasone 3 x 0,2 mg / IV
|
S:-
O:
-Cuci
tangan dilakukan
S:
O:
-Terpasang
infus
umbilikal
S:-
O:
Tali pusat
masih basah
S:-
O:
Lekosit
:10,31 /UL
S:-
O:
Injeksi
masuk
|
S :
O :
Hasil Laboratorium
Leucosit :
10,31 /uL
Tali pusat
masih basah
Terpasang
infus umbilikal
A :
Masalah resiko infeksi b.d Prosedur infasif masih dalam tahap observasi
Menurut expert [dr. sp.A]
Masalah resiko
infeksiberlangsung selama 3 hari
P :
Pertahankan intervensi no.
1, 2, 3, 4, 5
|
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sindrom distres
pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae
(Suryadi dan Yuliani, 2001).
2.
Ada 4 faktor
penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria
3.
Adapun
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang.
4.
Adapun cara
pencegahan RDS yang efektif yaitu : Mencegah kelahiran < bulan (premature),
Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis,
Management yang tepat, Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki
riwayat DM, Optimalisasi kesehatan ibu hamil dan cek kematangan paru melalui
cairan amnion.
5.
Gejala klinikal
yang timbul dari penyakit RDS yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur
segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit),
pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan
gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
6.
Adapun beberapa
klasifikasi dari penyekit RDS ada 3 yaitu : gangguan pernafasan ringan,
gangguan pernafasan sedang dan gangguan pernafasan berat.
7.
Beberapa
tindakan untuk mengatasi kegawat daruratan pernafasan yaitu : Mempertahankan
ventilasi dan oksigenasi adekuat, Mempertahankan keseimbangan asam basa,
Mempertahankan suhu lingkungan netral,Mempertahankan perfusi jaringan adekuat,
Mencegah hipotermia, Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
B.
Saran
1.
Kepada ibu hamil
dianjurkan agar selalu menjaga kehamilannya dan memeriksakan kehamilannya
secara rutin kepada tenaga kesehatan agar dapat mengurangi penyakit kelainan
bawaan pada neonates dan apabila terdapat kelainan dapat di deteksi secara
dini.
2.
Hindari
terjadinya kelahiran bayi premature karena bayi premature memungkinkan
terjadinya penyakit RDS terhadap bayi
3.
Dan apabila pada
ibu hamil dengan riwayat penyakit diabetes militus maka sebaiknya ibu menjaga
pola makannya terutama diet terhadap glukosa agar resiko terjadinya RDS pada
bayinya menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat. 2006.
Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Nughoro. 2011. Asuhan
Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah dan Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika
Padila. 2013. Asuhan
Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar