BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus adalah suatu kondisi dimana warna kulit dan
sclera akan berwarna kuning, hal ini terjadi ketika ada kadar bilirubin yang
berlebihan yang dihasilkan oleh hati ketika mengeluarkan bilirubin tersebut
dari dalam darah atau ketika terjadi kerusakan hati yang mencegah pembuangan
bilirubin dari dalam darah. Ikterus secara fisiologis merupakan fenomena biologis
yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama
masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3
kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir,
terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram atau
usia gestasi kurang 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama
kehidupannya. Sewaktu bayi masih berada dalam rahim (janin),maka tugas membuang
bilirubin dari darah janin dilakukan oleh plasenta. Hati atau liver janin tidak
perlu membuang bilirubin. Ketika bayi sudah lahir, maka tugas ini langsung
diambil alih oleh hati atau liver. Karena liver belum terbiasa melakukannya,
maka ia memerlukan beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama liver
bayi bekerja keras untuk menghilangkan bilirubin dari darahnya, tentu saja
jumlah bilirubin yang tersisa akan terus menumpuk di tubuhnya. Karena
bilirubin berwarna kuning, maka jika jumlahnya sangat banyak, dapat
menodai kulit dan jaringan-jaringan tubuh bayi. Bayi baru lahir menderita ikterus
yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau
disebutiikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu
pertamakehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab
sepertihemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
definisi dari penyakitikterus?
2.
Bagaimana
epidemiologi penyakit ikterus?
3.
Bagaimana etiologi
penyakitikterus?
4.
Apa
saja yang menjadi gejala gejala ikterus?
5.
Bagaimana patofisiologipenyakit ikterus?
6.
Apa prognosis dari
penyakit penyakit ikterus?
7.
Bagimana penatalaksanaan
dari penyakit ikterus?
8.
Bagaimana
pencegahan dari penyakit ikterus?
9.
Bagaimana asuhan keperawatan
pada anak dengan ikterus?
C. Tujuan dan Manfaat
1.
untuk mengetahui definisi dari
penyakit ikterus;
2.
untuk mengetahui epidemiologi
dari penyakit ikterus;
3.
untuk mengetahui etiologi dari
penyakit ikterus;
4.
untuk mengetahui gejala
dari penyakit ikterus;
5.
untuk
mengetahui bagaimana patofisiologi penyakit ikterus;
6.
untuk
mengetahui prognosis dari penyakit penyakit ikterus;
7.
untuk
mengetahui cara atau penatalaksanaan dari penyakit ikterus;
8.
untuk
mengetahui pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit ikterus;
9.
untuk
mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan ikterus.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A. Pengertian
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh mengubah warna
jaringan menjadi kuning karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin disebut sebagai ikterus. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada
sklera, kulit atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2
sampai 3 mg/dl, namun secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5mg/dl. Bilirubin serum
normal adalah 0,3 sampa 1,0 mg/dl. Jaringan permukaan yang kaya elastin,
seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali.
Menurut Mansjoer (2002), ikterus dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu. ikterus fisiologis dan patologis.
1.
Ikterus
fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Timbul
pada hari kedua-ketiga.
b.
Kadar
bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus
cukup bulan dan 10mg/dl pada kurang bulan.
c.
Kecepatan
peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari.
d.
Kadar
bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dl.
e.
Gejala
ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan.
f.
Tidak
terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
2.
Ikterus
patologis memiliki karakteristik seperti berikut:
a.
Ikterus
yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
b.
Ikterus
dengan kadar bilirubin melebihi 12mg/dl pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dl
pada neonates lahir kurang bulan/premature.
c.
Ikterus
dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dl per hari.
d.
Ikterus
yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
e.
Ikterus
yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis
lain yang telah diketahui.
f.
Kadar
bilirubin direk melebihi 1mg/dl.
B. Epidemiologi
Prevalensi dari ikterus adalah
beragam sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Bayi baru lahri dan dewasa tua
adalah yang paling sering terkena. Penyebab dari ikterus juga bervariasi
menurut usia. Sekitar 20% bayi baru lahir megalami ikterus pada minggu pertaman
kehidupan, terutama diakibatkan oleh proses konjugasi di hepar. Kelainan
kongenital, kelainan hemolitik dan dekek konjugasi juga bertanggung jawab
sebagai penyebab ikterus pada bayi dan anak-anak Virus hepatitis A adalah
penyebab tersering ikterus pada anak usia sekolah.
Ikterus pada jenis kelamin laki-laki
biasanya disebabkan oleh sirosis, hepatitis b kronis, hepatoma, karsinoma
pankeas, dan kolangitis. Sedangkan pada wanita penyeb terseringnya yaitu batu
empedu, sirosis bilier da karsinoma kandung empedu.
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi
yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang
dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru
lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional
yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo
selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar
58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar
bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di
atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan
dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari,
didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24% kematian terkait hiperbilirubinemia.Data yang agak berbeda didapatkan dari
RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar
13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus
patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan
juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%.Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya
sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup
besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5
mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3
dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C. Etiologi
Penyebab ikterus dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Ikterus Prahepatik
Produksi bilirubin
yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan
pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:
a.
Kelainan
sel darah merah
b.
Infeksi
seperti malaria, sepsis.
c.
Toksin
yang berasal dari luar tubuh seperti: obat-obatan, maupun yang berasal dari
dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis
fetalis.
2. Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada
saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam
air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam
sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan
oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada
bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga
tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.
3. Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan
konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga
menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan
regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar
bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada
keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
D. Tanda dan gejala
Menurut Surasmi (2003) gejala Hiperbilirubinemia
dikelompokan menjadi 2 fase yaitu akut dan kronik:
1.
Gejala
akut
a.
Lethargi
(lemas)
b.
Tidak
ingin mengisap
c.
Feses
berwarna seperti dempul
d.
Urin
berwarna gelap
2.
Gejala
kronik
a.
Tangisan
yang melengking (high pitch cry)
b.
Kejang
c.
Perut
membuncit dan pembesaran hati
d.
Dapat
tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
e.
Tampak
matanya seperti berputar-putar
E. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada
beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus
yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat
tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah ,
hipoksia, dan hipoglikemia.
F. Komplikasi & prognosis
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern
icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang
disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung
atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang
otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan
melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin,
kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan
suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan
perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus (Richard E. et al, 2003).
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi
saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset
umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3
minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara
lain:
1.
Bentuk
akut :
a.
Fase
1(hari 1-2): menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b.
Fase
2 (pertengahan minggu I): hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c.
Fase
3 (setelah minggu I): hipertoni.
2.
Bentuk
kronis :
a.
Tahun
pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory
tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b.
Setelah
tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran
G. Pengobatan
Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi :
fototerapi, transfuse pangganti, infuse albumin dan therapi obat.
a. Fototherapi
Fototerapi dapat
digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk menurunkan
bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a
bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light spectrum) akan
menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan
cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika
cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua
isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke
pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan
dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu
dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai
peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia. Secara
umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi
dan berat badan lahir rendah.
b. Transfusi Pengganti
Transfusi pengganti
digunakan untuk mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible
(rentan) terhadap sel darah merah terhadap antibody maternal, menghilangkan sel
darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan), menghilangkan serum
bilirubin, dan meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dangan bilirubin
Pada Rh
Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera (kurang dari 2
hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A
dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus
diperiksa setiap hari sampai stabil.
c. Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulus
hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan
mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya
(letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.
H. Pencegahan
Pencegahan ikterus pada bayi dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu:
1.
Pencegahan
Primer
a.
Menganjurkan
ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa hari
pertama.
b.
Tidak
memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2.
Pencegahan
Sekunder
a.
Wanita
hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum
untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
b.
Memastikan
bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A.
Pengkajian
1.
Identitas
Data
Identitas Bayi :
Nama Klien : By Ny. Z
Tgl Lahir : 26 April 2018
Nama Ibu : Ny.z
Jenis Kelamin :
Perempuan
Pekerjaan Ibu : IRT
Agama/Suku : Islam
BB : 2000 kg
B.
Keluhan Utama
Badan bayi berwarna
kuning
C.
Keluhan saat dikaji
Bayi
dalam keadaan lemah, klien muntah, mendapat foto therapy dan tampak kuning
diseluruh permukaan tubuh.
D.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Bayi
lahir dengan Sectio cecaria di Rumah Sakit Cut Meutia, saat lahir bayi langsung
menangis, lahir jam 12.40 dengan BBL 2000 gr, PB : 49 cm, LK : 34 cm, ibu bayi
dengan APB placenta previa, datang ke RS lewat IGD pada tanggal 12-5-05 dan
dibawa keruang nicu dengan keluhan nafas cepat, syanosis, nampak kuning
diseluruh mpermukaan tubuh.
E.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Karena
umur bayi baru 4 hari, maka tidak ada riwayat penyakit bayi yang pernah di
alami sebelumnya.
F.
Riwayat Persalinan
1. Bayi lahir
: dengan Secsio Cesaria,
2. BBL. PB,LK
: 2000 gr, 49 cm, 34 cm.
G.
Riwayat \Penyakit Keluarga
Keluarga
mengatakan bahwa didalam keluarganya tidak ada anggota keluarga yang sedang
sakit, dan juga tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit menular seperti
TBC, atau penyakit menurun seperti DM, Asma.
H.
Analisa Data
|
NO
|
SYMPTOM
|
ETIOLOGI
|
PROBLEM
|
|
1.|
|
Ds : -
Do :
Warna kulit klien nampak
kuning
|
Adanya pemberian foto therapy
|
Resiko tinggi terjadinya injury
|
|
2.
|
Ds : -
Do :
·
nampak warna kuning di seluruh pemukaan tubuh
·
S : 36,50C
·
N : 160 x/mnt
·
RR = 48x/mnt
|
Kelebihan bilirubin indirek dalam tubuh klien yang
dapat masuk kedalam jaringan otak
|
Resiko terjadinya kern
ikterus
|
I.
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko terjadinya kern ikterus b/d kelebihan bilirubin
indirek dalam tubuh klien yang dapat masuk kedalam jaringan otak.
2. Resiko terjadinya injury b/d adanya pemberian foto
therapy
J.
Rencana Keperawatan
|
Tujuan
|
Dx
|
Rencana Tindakan
|
Rasional
|
|
Setelah dilakukan tindakan selama 24 jam diharapkan
resiko tinggi terjadinya kern ikterus dapat dihindari dicegah dengan kriteria
:
→ Kadar Bilirubin berkurang
|
I
|
·
Kolaborasi dengan dokter untuk foto therapy,O2,
injeksi Cepotaxim 2x 125 mg IV
·
Kolaborasi dengan Lab untuk memeriksa bilirubin
setiap 8 jam minimal setiap 24 jam
·
Beri minum yang banyak
|
·
Merupakan indikator untuk menilai jumlah bilirubin
klien serta waktu yang diperlukan dalam terapy klien
·
Untuk menilai apakah kadar
bilirubin klien melebihi normal atau kurang dari normal
·
Agar dehidrasi tidak terjadi dan Untuk memenuhi
kebutuhan cairan klien karena klien berada dibawah terapi sinar
|
|
Setelah dilakukan tindakan selama 24 jam diharapkan
resiko tinggi injury dapat dicegah dengan criteria:
·
Pencahayaan cukup sesuai dengan kebutuhan
·
Kadar bilirubin berkurang
·
Tubuh klien tidak berwarna kuning lagi
|
II
|
·
Observasi Vital sign
·
Observsi pemberian cahaya sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi klien
·
Observasi keadaan umum klien setelah therapy
·
Cek intake dan output selama penyinaran
|
·
Melihat sejauhmana perkembangan klien
·
Dengan mengobservasi pemberian cahaya sesuai dengan
kebutuhan dapat mengetahui dan menilai penurunan kadar bilirubin serta
sejauhmana klien mengalami injury.
·
Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien dan sejauhmana
terjadinya dehidrasi
·
Menilai apakah jimlah cairan yang masuk sesuai
dengan instruksi dokter
|
K. Implementasi Keperawatan
|
Dx
|
Implementasi
|
Respon Hasil
|
|
I
|
·
Memonitor warna kulit bayi
·
Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter untuk
foto therapy
·
Memberikan injeksi cefotaxim 125 mg IV
·
Mengobservasi vital sign
·
Mengoservasi kondisi kulit dan mata klien
·
Menimbang BB
·
Mengobservasi keadaan umum bayi
·
Mengobservasi intake dan output
·
Mengobservasi penutup mata dan popok klien
|
·
Kulit bayi masih tampak kuning
·
Foto therapy terpasang jam 11.00 dan berakhir jam
17.00, bayi tampak menangis
·
Klien mendapat injeksi cefotaxim
·
Suhu 36,4 C, RR : 68 x/mnt, DJJ : 136x/ mnt.
·
Kulit baik mata tertutup dengan baik pula
·
BB 2300 gr
·
Keadaan umum masi lemah
·
Bayi masi puasa NGT terpasang infuse KA EN IB 12
tts/mnt retensi banyak
·
Mata tertutup rapat dengan kain kasa dan dilapisi
dengan karbon begitu pula dengan popoknya tertutup dengan baik
|
|
II
|
·
Memonitor warna kulit bayi
·
Melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter untuk
foto therapy
·
Memberikan injeksi cefotaxim 125 mg IV
·
Mengobservasi vital sign
·
Mengoservasi kondisi kulit dan mata klien
·
Menimbang BB
·
Mengobservasi keadaan umum bayi
·
Memberi minum bayi
·
Memberi minum bayi
·
Mengobservasi penutup mata dan popok bayi
·
Memberi minum bayi
|
·
Kulit bayi masih tampak kuning
·
Foto therapy terpasang jam 11.00 dan berakhir jam
17.00, bayi tampak menangis
·
Klien mendapat injeksi cefotaxim
·
Suhu 36,5 C, RR : 40 x/mnt, DJJ : 144x/ mnt.
·
Kulit baik masih tampak kuning, mata tertutup dengan
baik saat foto therapy
·
BB 2260 kg
·
Keadaan umum lesu, tangis kuat
·
Bayi minum pasi 10 cc
·
Bayi minum pasi 10 cc
·
Mata tertutup kain kasa dilapisi dengan karbon
begitu juga dengan popoknya tertutup dengan baik
·
Bayi minum pasi 10 cc
|
L.
Evaluasi
|
Dx
|
Evaluasi
|
|
I
|
S : -
O :
·
Kadar bilirubin 11,4
·
Klien masih nampak kuning
A : Resiko tinggi kern ikterus dapat
dicegah
P : Intervensi dilanjutkan
|
|
II
|
S : -
O :
·
kulit klien masih nampak kuning
·
pencahayaan cukup sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi, klien yaitu selama 6 jam dan disitirahatkan selama 2 jam
A : Resiko tinggi
injury dapat dicegah
P : Intervensi dilanjutkan
|
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ikterus adalah kondisi di mana
tubuh memiliki terlalu banyak bilirubin sehingga
kulit dan sclera mata menjadi kuning. Bilirubin adalah bahan kimia kuning
di hemoglobin, zat yang membawa oksigen dalam sel darah merah. Bila sel-seldarahmerah rusak, tubuh
akan membangun sel-sel baru di liver (hati) untuk
menggantikannya. Jika hati tidak dapat menangani sel-sel darah merah yang
rusak, bilirubin menumpuk di dalam tubuh dan kulit sehingga akan terlihat
kuning. Orang awam menyebut ikterus dengan penyakit kuning.
Bayi sehat banyak yang
memiliki ikterus selama beberapa minggu pertama kehidupannya. Kondisi ini
biasanya menghilang sendiri. Namun, ikterus dapat terjadi pada usia berapapun
dan dapat menjadi tanda masalah berikut: penyakit darah, sindrom genetic,
penyakit hati, seperti hepatitis atau sirosis, penyumbatan
saluran empedu, infeksi, obat-obat.
B. Saran
Penatalaksanaan yang benar
mengenai penyakit Ikterus pada anak harus difahami dengan benar oleh seluruh
pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang
diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien,
keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.Diharapkan dengan hadirnya makalah ini, mahasiswa
maupun praktisi kesehatan dapat lebih memahami asuhan keperawatan pada anak
dengan ikterus dan dapat mengimplementasikan dengan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Betz,
C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatrik, EGC, Jakarta.
Doenges,
Marilynn, E., 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
Handoko,
I.S. 2003. Hiperbilirubinemia.
Hidayat,
A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.
Mansjoer,
Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI, Jakarta.
Solahudin,
G. 2006. Kapan Bayi Kuning Perlu Terapi?. http://tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=08392&rubrik=bayi.
Staf
Pengajar IKA FK UI. 1985.Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2.Jakarta:Info Medika
Staf
Pengajar IKA FK UI. 1985.Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3.Jakarta:Info Medika
Tarigan,
M. 2003 Asuhan Keperawatan dan Aplikasi Discharge Planning Pada Klien dengan
Hiperbilirubinemia. FK Program Studi Ilmu Keperawatan Bagian Keperawatan
Medikal Bedah USU. Medan.
Wilkinson,
J. W 2006, Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria
hasil NOC, EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar